Logika Keputusasaan ( Tentang Isro' mi'roj )
Selama ini dalam menceritakan Isra’ Mi’raj kalau kita sudah buntu,
maka kita katakanlah bahwa kalau Allah menghendaki, maka semuanya bisa saja
terjadi. Kita takkan mendapatkan pelajaran apa-apa dengan cara berpikir seperti
ini. Padahal peristiwa apapun yang diturunkan oleh Allah, maka di dalamnya
selalu ada pelajaran untuk kita. Allah berfirman:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,(Q.S.
Ali ’Imrân [3]: 190)
Kita diperintahkan untuk menjadi ulil albab, yaitu orang yang
menggunakan akalnya memahami segala peristiwa, sehingga ada pelajaran dari
setiap peristiwa tersebut.
Perjalanan Isra’ Mi’raj itu terdiri dari dua etape: satu etape
mendatar (horisontal), sedangkan satunya lagi adalah etape vertikal ke langit
ketujuh. Etape mendatarnya diceritakan di dalam surah al-Isrâ’ ayat pertama:
Maha Suci Allah, yang telah memerjalankan hamba-Nya pada suatu
malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya
agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. al-Isrâ’
[17]: 1)
Tidak ada ayat lain lagi yang bercerita mengenai perjalanan Nabi
Muhammad dari Mekkah ke Palestina itu kecuali ayat ini. Kalau begitu
bagaimanakah kita bisa melakukan rekonstruksi atas perjalanan tersebut? Jika
ditelusuri kata demi kata dari ayat ini ternyata ada delapan kata kunci di ayat
ini, yaitu:
Pertama, ayat ini dimulai dengan kata “subhânalladzî”.
Kata “subhânallâh”
diajarkan kepada kita untuk diucapkan pada saat kita menemui peristiwa yang
menakjubkan, yang memesona, yang hebat, yang luar biasa. Artinya, dengan
memulai cerita itu menggunakan kata “subhânalladzî” sebenarnya Allah menginformasikan bahwa
cerita yang akan diceritakan tersebut bukanlah cerita yang biasa, melainkan
cerita tersebut adalah cerita yang luar biasa dan menakjubkan.
Kedua, yaitu kata “asrâ”. Penggunaan
kata “asrâ” memiliki
beberapa makna. Yang pertama bahwa itu adalah perjalanan berpindah tempat. Jadi
penggunaan kata ini mengcounter pemahaman ataupun kesimpulan yang menyatakan
bahwa pada perjalanan tersebut Rasulullah tidak berpindah tempat. Yang kedua
maknanya bahwa pada perjalanan itu Rasulullah diperjalankan, bukanlah berjalan
sendiri, dan bukan juga atas kehendak sendiri, karena peristiwa ini terlalu
dahsyat untuk bisa dilakukan sendiri oleh Rasulullah.
Ketiga, yaitu kata “’abdihi” yang
artinya adalah hamba Allah. Hamba terhadap majikan adalah seorang yang tak
berani membantah, taat, seluruh hidupnya diabdikan untuk majikannya, untuk
Tuhannya. Yang bisa mengalami perjalanan hebat ini bukanlah manusia yang
kualitasnya sembarangan, melainkan manusia yang kualitasnya sudah mencapai
tingkatan hamba Allah, yaitu manusia seperti Nabi Muhammad. Karena itulah, kita
mungkin tidak bisa menerima ketika Nabi Muhammad digambarkan mendapat perintah
salat 50 waktu, kemudian beliau menawar perintah tersebut kepada Allah. Anjuran
tawar-menawar itu datangnya dari Nabi Musa. Digambarkan bahwa tawar-menawar itu
terjadi hingga sembilan kali Nabi Muhammad bolak-balik menemui Allah, yang
akhirnya perintah salat fardu yang diterima Nabi Muhammad menjadi lima waktu
saja sehari semalam.
Kita mungkin tak sampai hati membayangkan Nabi Muhammad yang begitu
taat kepada Allah yang tak pernah membantah kalau mendapat wahyu dan perintah
dari Allah yang dalam cerita versi ini digambarkan sampai sembilan kali
tawar-menawar dengan Allah untuk mengurangi jumlah salat fardu yang
diperintah-Nya. Digambarkan pada cerita versi ini bahwa Nabi Musa lebih
superior dibandingkan Nabi Muhammad, sehingga Nabi Muhammad dipingpong oleh
Nabi Musa bolak-balik menemui Allah memohon agar jumlah salat fardu yang
diperintahkan Allah itu dikurangi. Tentunya patut pula kita ingat bahwa Nabi
Musa adalah nabinya bani Israil (sebetulnya juga nabinya umat Islam/umat Nabi
Muhammad), tetapi orang-orang bani Israil tidak mau menerima Nabi Muhammad.
Bagi bani Israil, Nabi Musa lebih hebat dibandingkan Nabi Muhammad, sehingga dalam
cerita versi ini Nabi Muhammad dipingpong saja. Jadi ini indikasinya adalah
hadis Israiliyat.
Keempat, yaitu kata “laylan” yang
artinya adalah perjalanan malam di waktu malam. Hal ini menunjukkan sebagai
penegasan bahwa perjalanan malam itu tidak sepanjang malam, melainkan cuma
sebagian kecil dari malam. Sehingga diriwayatkan di beberapa hadis, bahwa
ketika Rasulullah berangkat dari rumah meninggalkan pembaringan, kemudian
menuju ke Masjidil Haram, dan kemudian terjadi peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut.
Ketika Rasulullah kembali lagi ke rumahnya, ternyata pembaringannya masih
hangat. Hal ini menunjukkan bahwa ketika itu beliau tidak lama meninggalkan
rumahnya. Di hadis yang lain juga diceritakan, bahwa ketika Rasulullah
meninggalkan rumahnya, beliau menyenggol tempat minumnya kemudian tumpah, dan
ternyata ketika Rasulullah kembali lagi ke rumahnya, air dari tempat minum yang
disenggolnya itu masih menetes. Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya Isra’
Mi’raj yang dialami Rasulullah itu berlangsung dalam waktu yang sebentar dan
cepat.
Bayangkanlah, perjalanan semalam saja masih sulit diterima, apalagi
perjalanan yang hanya sekejap yang itu mungkin hanya beberapa menit, atau
mungkin hanya beberapa detik.
Kelima, minal masjidil harâmi ilal masjidil aqsha (dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa). Mengapa perjalanan Rasulullah ini dari masjid
ke masjid? Mengapa pula tidak dari rumahnya atau dari Gua Hira ke tujuan lain
yang bukan masjid (dari tempat yang bukan masjid ke tempat lain yang bukan
masjid juga)?
Patut diketahui, bahwa masjid adalah tempat yang menyimpan energi
positif sangat besar. Dengan kamera aura yang bisa memfoto dan memvideokan
sesuatu, jika ada orang yang sedang berzikir ataupun membaca al-Quran, ternyata
orang tersebut memancarkan cahaya yang terang benderang. Berbeda halnya dengan
orang yang sedang marah, depresi, ataupun stress, maka orang tersebut akan
memancarkan cahaya berwarna merah. Warna aura ini bertingkat, yaitu dari merah,
jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu, sampai warna putih. Setiap kita
memancarkan energi. Akan terpancar energi dari setiap aktivitas yang kita
lakukan, dan energi itu menancap di tempat kita berada ketika itu. Energi itu
membekas, sehingga seluruh aktifitas kita akan terekam. Allah berfirman:
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya
malaikat pengawas yang selalu hadir. (Q.S. Qâf: 18)
Raqib dan Atid kemudian dijadikan sebagai nama malaikat yang
mencatat amal kebaikan dan keburukan. Rekaman tersebut di ruang tiga dimensi,
dan suatu ketika akan diputar lagi. Allah berfirman:
Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka
Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu
pada hari itu amat tajam. (Q.S. Qâf: 22)
Di pengadilan akhirat itu, manusia akan bisa melihat seluruh
perbuatan yang dilakukannya di dunia.
Masjid mengandung energi positif sangat besar, terutama masjid yang
sering digunakan sebagai tempat beribadah. Semakin sering, semakin banyak, dan
semakin khusyuk, maka energinya akan semakin besar. Rasulullah berangkat dari
masjid menuju ke masjid. Terminal keberangkatannya di masjid, terminal
kedatangannya di masjid. Mengapa demikian? Karena hal ini berkaitan dengan
suatu rahasia untuk berubahnya tubuh Rasulullah menjadi energi cahaya.
Di film science fiction (fiksi
ilmiah) mungkin kita pernah melihat ada orang yang bisa dipindahkan dari satu
tempat ke tempat lainnya. Hal tersebut dilakukan dengan cara memasukkan orang
tersebut ke dalam tabung, kemudian tabung itu disinari, kemudian badan
materialnya dilenyapkan menjadi energi, kemudian energi itu dipancarkan seperti
gelombang radio, lalu ditangkap oleh antena penerima, kemudian energi yang
diterima itu dimaterialkan lagi sehingga kembali lagi menjadi orang. Inilah
yang dinamakan sebagai teleportasi. Hal ini diakui oleh para ilmuwan modern,
namun teknologinya belum dikuasai dalam skala besar, kecuali di
laboratorium-laboratorium tertentu. Ternyata materi itu bisa diubah menjadi
energi cahaya, kemudian energi cahaya itu bisa diubah lagi menjadi benda materi.
Hal ini sudah dibuktikan di laboratorium nuklir.
Mengapa Rasulullah ketika itu menjadi cahaya? Karena yang
mendampingi beliau adalah malaikat Jibril yang tercipta dari cahaya.
Digambarkan juga bahwa beliau menunggangi barqun (buraq) yang artinya kilat yang itu
juga cahaya. Sehingga perjalanan itu akan setara, karena malaikat Jibril adalah
cahaya, buraq adalah cahaya, dan Nabi Muhammad pun kemudian diubah menjadi
cahaya. Apakah bisa dijelaskan? Jawabannya bisa, karena badan kita ternyata
bisa lenyap berubah menjadi cahaya.
Karena Rasulullah sudah berubah menjadi cahaya di Masjidil Haram,
maka dalam waktu hanya sepersekian detik, Rasulullah sudah berpindah ke
Masjidil Aqsa. Mengapa bisa demikian? Karena kecepatan cahaya itu luar biasa
tingginya. 1 detik cahaya bisa menempuh jarak 300 ribu kilometer. 300 ribu
kilometer itu setara dengan 300 kali panjangnya Pulau Jawa. Jakarta-Banyuwangi
itu jaraknya hanya 1000 kilometer. Jadi, kalau ada cahaya yang dilepaskan di
Jakarta ditembakkan ke arah Banyuwangi, maka cahaya itu sudah berpindah ke
Banyuwangi dalam waktu sepertigaratus detik. Keliling bumi adalah 40 ribu
kilometer. Bagi cahaya itu tak ada apa-apanya, karena dalam waktu 1 detik
cahaya bisa mengelilingi bumi 7,5 kali.
Malaikat adalah makhluk yang terbuat dari cahaya. Di dalam
al-Quran, malaikat itu digambarkan memiliki sayap, mereka terbang melesat
saling mendahului, karena kecepatan malaikat itu sangat tinggi. Kita
kadang-kadang salah kaprah menganggap dan menggambarkan malaikat itu terlalu
sederhana, termasuk dalam hal merekam amal manusia. Kita mungkin membayangkan
malaikat Raqib dan Atid yang berada di pundak kanan dan kiri manusia itu duduk
mengawasi kita seperti halnya kita mengawasi orang lain, lalu malaikat itu
mencatat amal manusia seperti halnya manusia mencatat. Tentunya gambaran kita
terhadap malaikat yang seperti ini begitu naifnya, karena sebenarnya malaikat
itu begitu canggih dan begitu cepatnya yang itu di luar apa yang kita gambarkan
selama ini. Dalam waktu 1 detik, maka malaikat bisa mengelilingi bumi sebanyak
7 setengah kali. Di dalam al-Quran dinyatakan: Malaikat-malaikat dan Jibril
naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun. (Q.S.
Al-Ma’ârij: 4)
Dari ayat ini dapatlah diketahui, bahwa seharinya malaikat setara
dengan 50 ribu tahunnya manusia di dunia. Artinya, kalau malaikat mengawasi
manusia sehari (dalam hitungan malaikat), maka sebenarnya perjalanan manusia
yang diawasi oleh malaikat adalah selama 50 ribu tahun. Jadi, pengawasan
malaikat terhadap manusia bukanlah seperti yang kita gambarkan selama ini.
Malaikat Jibril cahaya, buraq adalah kilat yang juga cahaya, Nabi
Muhammad diubah menjadi cahaya, maka tidak sampai satu detik, atau hanya 0,005 detik,
Nabi Muhammad sudah berpindah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, atau tidak
sampai sekedipan mata.
Keenam, bâraknâ hawlahu (yang telah Kami berkahi
sekelilingnya). Allah memberkati sepanjang perjalanan itu, hal ini karena
perjalanan itu memang membahayakan. Tubuh Nabi Muhammad ketika itu bukanlah
dalam kondisi aslinya, meskipun hanya dalam waktu 0,005 detik. Sehingga kalau
tidak dijaga maka akan membahayakan Nabi Muhammad.
Ketujuh, linuriyahû min âyâtinâ (agar
Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami). Jadi,
meskipun hanya selama 0,005 detik, tetapi ketika itu Rasulullah ditunjukkan
berbagai peristiwa. Mengapakah bisa seperti itu, sedangkan itu adalah waktu
yang sangat singkat. Itulah yang disebut sebagai relativitas waktu, yaitu ada
perbedaan waktu antara orang yang berkecepatan tinggi dengan orang yang
berkecepatan rendah. Kita mengetahui, bahwa antara orang yang tidur dengan
orang yang sadar (terjaga) itu waktunya berbeda. Misalnya, ada yang tiba-tiba
terlelap tidur yang itu hanya sebentar (mungkin hanya beberapa detik), lalu
yang tertidur itu dibangunkan. Yang tertidur itu pun terbangun, lalu ia
bercerita baru saja ia bermimpi. Ceritanya itu begitu panjang, seakan-akan
mimpinya itu sangat lama, padahal ia hanya tertidur beberapa detik saja.
Begitupun dengan Rasulullah, meskipun perjalanan yang dialaminya itu hanya
berlangsung sepersekian detik, tetapi beliau ditampakkan berbagai macam
peristiwa oleh Allah. Hal ini karena yang memerjalankan Rasulullah adalah Allah
yang tak lain adalah zat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Kemahamendengaran dan kemahamelihatan Allah itu ditularkan kepada Nabi
Muhammad, sehingga kemampuan Rasulullah untuk melihat dan mendengar menjadi
lebih baik dari sebelumnya.
Selanjutnya mengenai Mi’raj diceritakan pada surah an-Najm 14-18:
(14) (yaitu) di Sidratil Muntaha. (15) Di dekatnya ada surga
tempat tinggal, (16) (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi
oleh sesuatu yang meliputinya. (17) Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling
dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (18) Sesungguhnya dia
telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (Q.S. an-Najm:
14-18)
Di dekat Sidratil Muntaha, Rasulullah menyaksikan surga. Tentunya
tidak sembarangan orang yang bisa menyaksikan surga, karena sudut padangnya
harus tertinggi di alam semesta ini. Dari dunia tidak kelihatan, kalaupun
kelihatan hanya sebagian. Jadi, kalau kita merasakan kebahagiaan, maka hal itu
mungkin kita telah mendapatkan kebahagiaan surga, namun hanya sedikit sekali
perbandingannya, mungkin bagaikan setetes air dibandingkan dengan samudera, itu
pun setetes airnya dibagi lagi tak berhingga. Sebaliknya kalau kita menderita,
maka itu adalah penderitaan neraka, namun skalanya tak berhingga.
Lantas ke manakah Rasulullah melanglang buana? Menyeberangi langit
ataukah beliau langsung masuk ke Sidratil Muntaha yang kita tidak tahu di mana
letaknya.
Betapa besarnya langit angkasa semesta. Apakah langit? Langit
adalah seluruh ruangan alam semesta ini. Matahari dikelilingi oleh
planet-planet, bumi tempat kita tinggal adalah termasuk salah satu planet yang
mengitari matahari. Matahari yang tadinya kelihatan besar, semakin jauh kita
lihat maka semakin kecil. Ketika matahari yang kita terlihat itu semakin kecil,
maka biasanya kita tidak lagi menyebutnya matahari, melainkan kita menyebutnya
bintang. Matahari itu ternyata demikian banyaknya, seluruh bintang-bintang itu
sebenarnya adalah matahari. Diperkirakan jumlahnya trilyunan. Matahari-matahari
(bintang-bintang) itu bergerombol membentuk galaksi. Galaksi adalah gerombolan
matahari (bintang), di tengahnya ada matahari yang lebih besar, dan di
sekitarnya ada sekitar 100 milyar matahari (bintang). Bintang-bintang itu
bergerombol mengitari pusatnya membentuk suatu galaksi. Galaksi tempat bumi dan
matahari kita berada adalah galaksi Bimasakti. Di sebelah galaksi Bimasakti ada
galaksi Andromeda yang isinya diperkirakan juga 100 milyar matahari.
Galaksi-galaksi itu diperkirakan trilyunan jumlahnya. Para ahli astronomi
bahkan sampai kehabisan nama untuk menyebut galaksi karena saking banyaknya.
Galaksi-galaksi itu ternyata bergerombol-gerombol lagi membentuk
gerombolan yang lebih besar yang dinamakan sebagai supercluster. Isinya
diperkirakan 100 milyar galaksi. Apakah supercluster adalah benda terbesar dan
terjauh di alam semesta, hingga kini belum ada yang mengetahuinya.
Jarak bumi ke matahari adalah 150 juta kilometer. Kalau dilewati
cahaya maka dibutuhkan waktu 8 menit. Jadi, kalau kita melihat matahari terbit
yang sinarnya sampai ke mata kita, maka cahaya yang sampai ke mata kita itu
sebetulnya bukanlah matahari sekarang, melainkan matahari 8 menit yang lalu.
Cahaya matahari itu berjalan selama 8 menit barulah sampai ke mata kita.
Sementara bintang kembar (Alpha Century) jaraknya dari bumi adalah 4 tahun
perjalanan cahaya. Kalau kita melihat bintang kembar pada malam hari, maka
sebetulnya itu bukanlah cahaya bintang kembar saat itu, melainkan bintang 4
tahun yang lalu. Di belakangnya lagi ada bintang yang berjarak 10 tahun
perjalanan cahaya. Bayangkanlah kalau kita mau menuju bintang berjarak 10 tahun
cahaya menggunakan pesawat tercepat yang dimiliki manusia, misalnya menggunakan
pesawat ulang alik yang kecepatannya 20 ribu kilometer per jam. Apakah yang
kemudian terjadi? Ternyata dibutuhkan waktu 500 tahun untuk sampai ke bintang
tersebut.
Ternyata bumi kita ini bukanlah benda besar di alam semesta,
melainkan benda yang sangat kecil. Di belakang bintang berjarak 10 tahun cahaya
ada bintang berjarak 100 tahun cahaya, di belakangnya lagi ada yang berjarak
1000 tahun cahaya, yang berjarak 1 juta tahun cahaya, dan juga yang berjarak 1
milyar tahun cahaya. Yang terjauh diketahui oleh ilmuwan Jepang yaitu yang
berjarak 10 milyar tahun cahaya. Jadi, bumi kita ini hanyalah sebutir debu di
padang pasir alam semesta raya.
Jadi, manusia adalah debunya bumi, bumi debunya tata surya, tata
surya debunya galaksi Bimasakti, galaksi Bimasakti debunya supercluster,
supercluster debunya langit pertama, karena langit itu ada tujuh (sab’a
samawâti). Ilmu astronomi hanya mengetahui langit itu satu, tapi al-Quran
mengatakan langit itu ada tujuh, karena menurut al-Quran bahwa langit yang kita
kenal itu yang banyak bintang-bintangnya barulah langit dunia (langit pertama).
Allah berfirman: Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan
hiasan, yaitu bintang-bintang, (Q.S. ash-Shâffât: 6)
Sudah sedemikian besarnya langit pertama, ternyata langit pertama
adalah debunya langit kedua, karena langit kedua itu besarnya tak berhingga
kali dibandingkan langit pertama. Langit ketiga besarnya tak berhingga kali
dibandingkan langit kedua. Begitu seterusnya setiap naik ke langit selanjutnya
selalu tak berhingga kali besarnya dibandingkan langit sebelumnya, hingga
langit ketujuh tak berhingga kali dibandingkan langit keenam, serta tak
berhingga pangkat tujuh dibandingkan langit pertama.
Jadi, langit pertama adalah debunya langit kedua, langit kedua
debunya langit ketiga, seterusnya hingga langit ketujuh, dan seluruh langit
yang tujuh beserta seluruh isinya hanyalah debu atau lebih kecil lagi di dalam
kebesaran Allah. Beginilah cara al-Quran menggiring pemahaman kita tentang
makna Allahu Akbar. Semestinya menurut al-Quran, bahwa belajar mengenal Allah
itu adalah dari seluruh ciptaan-Nya. Dengan begitu kita akan mengetahui betapa
Maha Besarnya Dia, betapa Maha Menyayangi, Maha Teliti, Maha Berkuasa, Maha
Berkehendak, tak cukup hanya dari lafaznya, karena kita takkan mendapatkan rasa
yang sesungguhnya.
Bayangkanlah betapa Rasulullah melakukan perjalanan menuju langit
ketujuh. Sebetulnya Rasulullah berjalan ke langit ketujuh itu apakah melintasi
ruang angkasa atau tidak?
Kalaupun badan Rasulullah diubah menjadi cahaya, maka dari bumi
menuju bintang Alpha Century yang berjarak 4 tahun cahaya, maka Rasulullah
membutuhkan waktu 4 tahun untuk sampai ke bintang Alpha Century, untuk menempuh
yang berjarak 10 tahun cahaya dibutuhkan waktu 10 tahun, untuk menempuh yang
berjarak 10 milyar tahun cahaya dibutuhkan 10 milyar tahun. Sepertinya Rasulullah
tidak melewati ruang angkasa, melainkan ada ruangan langsung yang tidak ke sana
(tidak ke ruang angkasa) tetapi memahami semua itu. Di manakah itu?
Ternyata langit kedua terhadap langit pertama tidak bertumpuk
seperti kue lapis (dalam konteks Mi’rajnya Rasulullah). Sering kita berpendapat
dari cerita-cerita klasik bahwa Nabi Muhammad dan malaikat Jibril menuju ke
langit ketujuh dengan cara naik menggunakan tangga, kemudian bertemu langit
yang digambarkan seperti langit-langit, kemudian di situ ada pintunya dan ada
penjaganya. Lalu Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad ditanya mau ke mana oleh si
penjaga langit. Dijawab oleh Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad bahwa akan
bertemu dengan Allah. Kalau begitu, berarti Allah itu jauh sekali. Padahal di
dalam al-Quran digambarkan bahwa Allah itu dekat, dan Nabi Muhammad mengetahui
itu. Allah berfirman:
Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami
lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (Q.S.
Qâf: 16)
Bahkan dinyatakan juga di dalam al-Quran: Dan kepunyaan Allah-lah timur
dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.(Q.S. al-Baqarah
[2]: 115)
Timur dan Barat milik Allah. Ke manapun kita menghadap, maka kita
berhadapan dengan Allah, karena Allah sedang meliputi kita. Dan Rasulullah tahu
persis akan hal itu. Jadi untuk bertemu Allah tak perlu ke Sidratil Muntaha.
Dan memang Rasulullah ke Sidratil Muntaha bukanlah untuk menemui Allah, karena
Allah sudah meliputi Rasulullah, juga meliputi kita semua di manapun kita
berada.
Lantas di manakah langit kedua? Langit kedua ternyata tidak nun
jauh di sana, tetapi di sini juga. Langit kedua, ketiga, keempat, kelima,
keenam, dan ketujuh di sini juga. Sidratil Muntaha, surga, dan Allah di sini
juga. Kalau begitu mengapa pula bingung-bingung mencari Allah hingga jauh ke
mana-mana, karena menghadap ke manapun kita selalu bertemu dengan Allah, dan
Allah sudah lebih dekat daripada urat leher kita. Kalau begitu perjalanan
Mi’raj itu seperti apa? Perjalanan Rasulullah dari langit pertama ke langit
kedua adalah dengan cara masuk ke dimensi yang lebih tinggi. Hilang dari sini
kemudian sudah berada di dimensi yang lebih tinggi yang itu tempatnya di sini
juga.
Langit kedua adalah langitnya jin. Kalau begitu, jin itu sebenarnya
hidup di angkasa atau di bumi? Jin itu ternyata hidup di bumi. Sehingga di
al-Quran diceritakan, bahwa kalau jin dan manusia mau ke langit, maka itu bisa
dilakukan, tetapi harus menggunakan kekuatan ataupun teknologi.
Jadi jin itu ada di sini. Tapi di mana jinnya? Jin itu ada di
dimensi yang lebih tinggi. Dia bisa melihat kita dari tempat yang kita tidak
bisa melihat mereka. Mungkin dapat digambarkan (dianalogikan) bahwa kalau kita
disorot lampu, kemudian di belakang kita ada dinding, maka di permukaan dinding
itu akan terlihat bayangan kita. Bayangan itu dengan kita sebenarnya adalah dua
makhluk yang berbeda. Perbedaannya: Pertama, bahwa bayangan di dinding itu
tidak mempunyai ketebalan, ia hanya menempel di permukaan dinding. Ukurannya
hanya dua, yaitu panjang dan lebar, yang itu disebut sebagai makhluk dua
dimensi. Sedangkan kita memiliki ukuran panjang, lebar, dan ketebalan, sehingga
kita disebut sebagai makhluk tiga dimensi. Kedua, dunianya berbeda. Makhluk dua
dimensi dunianya harus dua dimensi. Dalam hal ini yaitu permukaan dinding.
Sedangkan makhluk tiga dimensi dunianya harus tiga dimensi, yaitu berupa
ruangan. Sehingga kalau bayangan itu bergerak, maka ia hanya bisa ke kanan,
kiri, atas, dan bawah. Sedangkan makhluk tiga dimensi bisa ke kanan, kiri,
atas, bawah, serta maju dan mundur.
Ternyata ini ada dua makhluk yang berbeda eksistensinya dan berbeda
ruang hidupnya. Di dinding ada bayangan, sedangkan di ruangan ada manusia.
Jarak kita dengan bayangan itu cukup dekat. Bayangan itu hanya bergerak di
dinding saja, dia tidak bisa terlepas dari dinding ataupun keluar menuju
ruangan. Bayangan tidak bisa masuk ke ruangan karena bayangan itu terikat di
permukaan dinding saja dan dia tidak mempunyai ketebalan. Yang bisa hidup di
ruangan hanyalah yang memiliki ketebalan seperti kita.
Maka kalau bayangan itu makhluk hidup, dia akan bergerak ke sana ke
mari di dinding, kita juga makhluk hidup dan bisa bergerak ke sana ke mari.
Kita bisa melihat bayangan itu melakukan apa saja, tetapi bayangan itu tidak
bisa melihat kita, karena bayangan itu tidak tahu bahwa ada ruangan yang
mempunyai ketebalan. Yang diketahui oleh bayangan itu bahwa dunianya tidak
mempunyai ketebalan. Kalau misalnya bayangan itu manusia, maka kita adalah jin.
Jin bisa melihat segala yang dilakukan manusia. Jika jin saja bisa melihat segala
yang dilakukan oleh manusia, apalagi malaikat yang berasal dari makhluk langit
ketujuh, di arasy Allah, dan di akhirat.
Kalau kita ingin masuk ke dunia bayangan itu, caranya adalah dengan
menempelkan sebagian tubuh kita ke dinding. Misalnya tangan kita ditempelkan di
dinding, sehingga tangan kita yang menempel di dinding itu terlihat oleh
bayangan tersebut. Bayangan itu mungkin heran melihat ada telapak tangan. Lalu
kita katakan kepada bayangan itu untuk mengikuti kita. Kita lalu bergeser
sepanjang dinding sambil menempelkan tangan ke dinding, lalu dikejar oleh
bayangan itu. Ketika hampir tertangkap oleh bayangan itu, kita kemudian
melepaskan tangan kita, sehingga hilanglah kita dari dunia bayangan tersebut.
Tiba-tiba kita muncul di belakangnya. Kita tempelkan lagi tangan kita, kita
menggeserkan tangan kita sepanjang dinding, kemudian bayangan itu mengejar kita
lagi. Ketika hampir tertangkap oleh bayangan itu, maka kita pun kembali
melepaskan tangan kita dari dinding, lalu tiba-tiba kita muncul di atasnya,
muncul di bawahnya, dan seterusnya. Karena itulah, kalau jin mengganggu
manusia, maka jin itu menempelkan sebagian badannya ke dunia manusia, sementara
badannya masih berada di dunianya. Badannya yang masih berada di dalam ruangan
dunianya itu tidak terlihat oleh manusia, padahal dia memiliki badan. Sehingga
biasanya kalau menemui seperti ini manusia akan ketakutan. Padahal kita tak
perlu takut dengan jin.
Kalau jin itu menampakkan seluruh badannya, maka manusia akan dapat
melihatnya, tapi ketebalannya tak terlihat, karena yang manusia lihat hanyalah
tubuh jin itu yang menempel di permukaan dunia kita. Kalau mau kita tangkap,
maka dia masuk lagi ke ruangan dunianya. Manusia mungkin melihat jin itu di
atas seperti terbang, padahal sebenarnya jin itu tidak terbang, karena badannya
masih berada di ruangan dunianya. Kalau begitu, berarti jin itu sakti? Jin
sebenarnya tidaklah sakti, sama saja seperti manusia, karena itu kita tidak
perlu takut kepada jin. Namun saja, bahan dasarnya memang berbeda dari manusia.
Allah berfirman: Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang
sangat panas. (Q.S. al-Hijr: 27)
Ada dua dunia yang berbeda ruangannya, yaitu dunia jin dan dunia
manusia. Kalau bayangan di dinding itu ingin keluar dari dunianya dan ingin masuk
ke dunia kita, bagaimanakah caranya?
Jika kita membayangkan sistem tata surya kita, dari bumi kita
menuju ke suatu bintang, berarti kita masih berada di langit pertama. Kemudian
kita menuju ke bintang yang lain, ataupun berputar-butar di dalam tata surya
kita berarti kita masih berada di langit pertama. Lantas kalau mau ke langit
kedua, maka kita harus keluar dari ruangan tata surya kita yang tak lain keluar
dari ruangan langit pertama. Selama kita ke manapun bermilyar-milyar tahun
tetapi tetap berada di dalam ruangan tata surya kita, maka berarti kita masih
berada di langit pertama. Sedangkan kalau kita mau ke langit kedua, maka kita
harus keluar dari ruangan langit pertama ini kemudian memasuki ruangan langit
kedua. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi Rasulullah tidak bisa
melakukannya sendirian, melainkan harus dibantu oleh makhluk dari alam yang
lebih tinggi, yaitu malaikat Jibril (malaikat Jibril adalah makhluk dari langit
ketujuh).
Sama halnya jika bayangan yang ada di dinding mau keluar dari
dinding (dunianya), maka kita tempelkan punggung kita ke dinding sehingga diri
kita dengan bayangan yang ada di dinding itu menjadi menempel. Kemudian kita
katakan kepada bayangan itu untuk hinggap ke punggung kita. Karena bayangan itu
sudah menempel dengan punggung kita, maka kita maju meninggalkan dinding untuk
menuju ke tengah ruangan kita. Bayangan itu hilang dari dinding karena bayangan
itu ada di punggug kita, dan kemudian bayangan itu melihat ke dunianya yang
membuat bayangan itu terheran-heran melihat dunianya. Ternyata berbeda dilihat
dari ruangan kita dan dilihat dari ruangan bayangan itu. Perbedaannya ada dua:
Pertama, jika di dinding ada bayangan A yang di sebelahnya ada
bayangan B, ketika bayangan A melihat ke bayangan B, maka bentuk bayangan B
yang dilihat oleh bayangan A adalah garis. Melihat ke atas garis, ke bawah
garis, ke kanan garis, dan ke kiri garis. Tapi ketika bayangan A itu ke ruangan
kita, kemudian melihat ke bayangan B yang masih berada di dinding, maka bentuk
yang dilihatnya bukanlah garis.
Kedua, dari ruangan kita, si bayangan bisa melihat setiap sisi
dinding sekaligus, semua dinding kelihatan oleh si bayangan. Ketika masih
berada di dinding (dunianya), si bayangan hanya bisa mengetahui yang ada di
sekitarnya (kanan, kiri, atas, dan bawah). Ketika berada di ruangan kita, si
bayangan bisa melihat seluruh dunianya.
Langit tata surya kita seluruhnya akan terlihat ketika kita
melihatnya dari ruangan yang bukan ruangan langit tata surya kita itu tanpa
kita harus melakukan perjalanan ke langit. Begitulah yang dialami oleh
Rasulullah. Ketika Rasulullah dibawa oleh Jibril naik ke langit kedua, maka
Rasulullah terpesona untuk pertama kalinya, karena langit pertama dilihat dari
langit kedua ternyata lebih indah dibandingkan ketika Rasulullah melihatnya
dari langit pertama (langit pertama dilihat dari langit pertama). Dari langit
kedua, seluruh alam semesta kelihatan oleh Rasulullah, padahal Rasulullah hanya
menyelusup masuk ke dimensi yang lebih tinggi.
Lantas di manakah langit ketiga? Analoginya sama, jika permukaan
dinding adalah langit kedua, maka ruangan kita adalah langit ketiga. Kemudian
Rasulullah naik lagi ke dimensi yang lebih tinggi, sehingga terlihat oleh
Rasulullah bahwa langit kedua lebih indah dilihat dari langit ketiga, pemandangannya
tambah luas dibandingkan langit pertama dan langit kedua.
Langit keempatnya di mana? Analoginya sama, kalau permukaan dinding
adalah langit ketiga, maka ruangan kita adalah langit ketiga. Rasulullah pun
naik (masuk) ke dimensi yang lebih tinggi, sehingga di langit keempat
Rasulullah terpesona lagi menyaksikan betapa indahnya ciptan Allah, yaitu
langit pertama, langit kedua, dan langit ketiga dilihat dari langit keempat.
Begitu seterusnya naik ke langit kelima Rasulullah terpesona, naik
ke langit keenam Rasulullah terpesona, dan naik ke langit ketujuh Rasulullah
tidak tergambarkan lagi betapa terpesonanya menyaksikan alam semesta ciptaan
Allah. Di dekat Sidratil Muntaha Rasululah menyaksikan keindahan yang tidak
pernah tergambarkan sebelumnya yang diistilahkan sebagai surga. Ketika itu
Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya yang penuh misteri.
Pandangan Rasulullah tidak bisa dipalingkan, dan juga tidak bisa melampaui
Sidratil Muntaha itu. Seperti orang yang terpaku dan terpesona. Mengapakah bisa
demikian? Karena tak lain Rasulullah telah menyaksikan sebagian kecil ciptaan
Allah yang luar biasa dahsyatnya. Itulah saat Rasulullah terpesona di sana.
Apakah untuk bertemu dengan Allah? Ternyata bukanlah untuk bertemu dengan
Allah. Lantas untuk apa? Jawabannya ada dua, yaitu:
Pertama, perjalanan Isra’ dan Mi’raj ternyata tujuannya adalah
untuk menunjukkan tanda-tanda kebesaran Allah, seperti yang disebutkan pada
ayat pertama surah al-Isrâ’: … agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.
Jadi, perjalanan Isra’ dari Mekkah ke Palestina itu adalah untuk
menunjukkan sebagian kekuasaan Allah. Lantas kalau begitu mi’rajnya untuk apa?
Di dekat Sidratil Muntaha Rasulullah menyaksikan surga. Ketika itu
Sidratil Muntaha diliputi sesuatu yang meliputinya. Pandangan beliau tidak bisa
dipalingkan dan tidak bisa melampaui. Sungguh beliau menyaksikan tanda-tanda
(atau sebagian kecil dari tanda-tanda) atau ciptaan Allah yang luar biasa
hebatnya itu: Sesungguhnya dia telah melihat
sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (Q.S.
An-Najm: 18)
Jadi, Isra’ Mi’raj itu sebetulnya bertujuan membawa Rasulullah ke
satu posisi yang paling tinggi untuk memahami betapa dahsyatnya ciptaan Allah.
Untuk apakah semuanya itu? Yaitu untuk memotivasi Rasulullah. Mengapakah
demikian? Karena sebelum Isra’ Mi’raj, Rasulullah sedang berada pada titik
terendah perjuangannya yang paling sulit, yaitu ketika dijepit oleh orang kafir
dan diembargo secara ekonomi. Di saat-saat itu justru Allah mewafatkan paman
Rasulullah (Abi Thalib) dan mewafatkan istri Rasulullah (Khadijah). Hal ini
bukannya tidak sengaja, melainkan disengaja oleh Allah, karena memang tak ada
yang kebetulan di dalam kehidupan ini.
Semuanya itu justru terjadi pada saat Rasulullah berada pada titik
nadir perjuangannya. Beliau berharap memindahkan front syi’arnya ke luar kota
(yaitu ke Tha’if). Beliau berharap disambut baik oleh penduduk Tha’if, tapi
malah yang terjadi beliau dilempari batu sampai berdarah-darah. Maka kemudian
Allah memompa kembali semangat beliau, yaitu dengan cara Isra’ Mi’raj.
“Muhammad, engkau adalah utusan Allah,” mungkin seperti itulah yang ingin
disampaikan oleh Allah melalui peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut. Ketika Rasulullah kembali dari Isra’ Mi’raj, maka setahun kemudian
terjadilah titik balik perjuangannya, yaitu beliau bersama pengikutnya hijrah
ke Madinah, kemudian dari Madinah bisa menaklukkan kota Mekkah.